Hariyanto Wijoyo
|
30
komentar
Aku masih berlari menyusuri pematang sawah yang kering karena musim kemarau berkepanjangan. Peluh mengalir di seluruh tubuhku membuat baju kaos berwarna hitam bertuliskan “
Sumpah Aku Ini Seorang Blogger” menjadi basah seperti habis diguyur sesumur air.
Kupercepat langkah kakiku yang bergerak lincah laksana seorang Running Girl, melompat kesana kemari menghindari onggokan kotoran dan lubang dari bekas jejak kaki kerbau. Sementara itu sesekali pandanganku menatap jauh ke depan, ke sebuah rumah tua yang terletak di sebuah dataran dikelilingi oleh ratusan petak sawah.
Rumah tua berlantaikan tanah dan beratapkan sirap terbuat dari daun nipah, dindingnya dari kulit bambu yang dianyam, sementara tiang-tiangnya dari batang bambu yang sudah mulai lapuk dimakan rayap. Tak ada jaringan listrik di rumah itu, penerangan hanya mengandalkan lampu minyak, dan di rumah itulah orangtuaku yang bekerja sebagai buruh tani menetap, dimana sawah-sawah yang mengelilinginya adalah milik para tuan tanah di desa di mana kedua orangtuaku berada. Tak ada satupun dari sawah tersebut yang menjadi milik orangtuaku, mereka hanya berkesempatan menggarapnya dan hasilnya dibagi bersama dengan pemilik sawah.
Hasilnya hanya cukup untuk makan dengan ala kadarnya saja, sebagai penghasilan tambahan kedua orangtuaku menanam sayur mayur di tanah kosong yang tak seberapa luas di samping rumah, selain itu, Bapakku juga kerap dipanggil menjadi kuli panggul di pasar, bila ada truk sembako yang datang. Sayur mayur dari lahan kosong kemudian dijual, ditambah upah dari kuli panggul itulah yang hasilnya dipakai untuk membiayai sekolahku hingga lulus SMA.
Pendidikan Bapakku hanya sampai kelas dua Sekolah Dasar, sedangkan ibuku tidak bersekolah sama sekali, jadi untuk mencari pekerjaan yang lebih baik, mereka terbentur dengan lembaran ijazah yang mereka tak punyai. Namun mereka tak mau anaknya mengikuti jejak mereka, mereka ingin anaknya bisa bersekolah setinggi mungkin, jadi bisa dibayangkan bagaimana kerasnya perjuangan mereka berdua, membanting tulang demi membiayai hidup dan sekolah anaknya.
Meskipun demikian, tak ada satu keluhan pun terlontar dari mulut orangtuaku, malahan mereka selalu bersyukur kehadirat Gusti Allah atas semua nikmat rezeki yang mereka peroleh selama ini. Itulah yang menjadi kekuatan mereka selama ini, selalu bersandar dan yakin pada lindungan Gusti Allah. “Ingat ya, jangan pernah lupa untuk selalu sembahyang, dan berdoa kepada Gusti Allah, karena Gusti Allah tidak pernah meninggalkan kita sebagai hamba-NYA.” nasihat Bapakku suatu hari.
Hari ini aku kembali menuju rumah orangtuaku, semenjak aku pergi meninggalkan mereka tanpa pesan apapun selama dua tahun lamanya. Aku mengembara dari desa ke kota, mencoba mengadu nasib berbekal selembar ijazah SMA.
Terbayang jelas pertemuan terakhir dengan kedua orangtuaku, yang berujung pertengkaran, karena saat itu kuanggap mereka memaksakan kehendaknya kepada diriku, “Pokoknya aku tidak mau mengikuti keinginan Bapak dan Ibu !!! Aku masih muda, dan masih mau bebas menentukan sendiri masa depanku, seperti anak-anak lain yang sebaya denganku. Kalau Bapak Ibu masih berkeras, lebih baik aku pergi dari rumah ini !!!” Peristiwa itu terjadi dua tahun semenjak saya lulus dari SMA, sebelum akhirnya aku melarikan diri dari rumah.
Kini, dalam pelarianku, aku baru merasakan kerasnya kehidupan yang kuhadapi. Jiwa mudaku yang ingin bebas tiba-tiba terbelengu oleh tuntutan pangan dan sandang serta papan , mau tidak mau, aku harus mencari nafkah untuk bisa memenuhi semua itu. Hal itu membuat bayang kedua orangtuaku semakin kuat hadir dalam benakku, membuat aku semakin rindu pada mereka. Tapi keinginan mereka tidak sama dengan keinginanku, jiwa mereka tak serupa dengan jiwaku, mereka sudah tua jadi mungkin tak mengerti akan keinginanku.
“Tak ada orangtua yang ingin anaknya sengsara, semua pasti mengharapkan yang terbaik buat anaknya.” demikian ucapan Pak Mandor di tempat aku bekerja sebagai buruh cuci di sebuah perusahaan laundry seminggu lalu, saat mengetahui alasan aku melarikan diri dari rumah.
“Tapi usiaku masih teramat muda pak, masih punya impian meraih masa depan yang lebih baik.” kataku mencoba membenarkan diriku sendiri.
“Jangan lupa, orangtuamu juga berpikir tentang masa depanmu, dan bukan masa depan mereka. Menurut mereka, itulah pilihan terbaik buat masa depanmu, apalagi kau itu seorang anak perempuan.” kata Pak Mandor itu sambil menatapku yang asyik memisahkan baju-baju yang akan dilaundry.
“Berpikirlah dengan tenang dan bijak, jangan sampai keputusanmu akan merugikan dirimu sendiri, dan menimbulkan penyesalan, karena bertentangan dengan kemauan orangtuamu. Ingat nak, saat ini dirimu masih dalam tanggungjawab mereka. Apakah kau yakin bahwa kau masih bisa bertemu dengan mereka, dan masih bisa berbakti kepada mereka? Sedangkan kau tidak pernah memberi kabar mengenai keberadaamu kepada mereka.” ucapan Pak Mandor menyentak lubuk hatiku yang terdalam, raut wajah Bapak Ibuku yang keriputan termakan usia, dengan rambutnya yang penuh uban, dan tubuh mereka yang hitam legam karena terbakar paparan sinar mentari tergambar jelas dihadapanku.
“Bila kau ingin berbakti kepada mereka, janganlah menunda-nundanya lagi, karena tak ada kata terlambat untuk sebuah hal baik. Namun mungkin saja sudah terlambat bagimu untuk menyadarinya. Karena dirimu tak tahu, apakah saat ini mereka masih ada atau sudah tiada.” Ucapan Pak Mandor yang terakhir membuat aku terkesiap, wajahku menjadi pucat pasi, membayangkan orang tuaku meninggal di saat aku tak berada di sisinya, sungguh kutak sanggup membayangkannya. Bergegas aku berdiri meninggalkan tumpukan pakaian yang hendak di laundry, menghadap ke majikanku, meminta ijin untuk pamit, pulang kembali menemui orangtuaku.
Semakin kupercepat laju lariku, tak kuhiraukan lagi kotoran kerbau yang terinjak kakiku, debar jantungku sudah tak karuan rasanya, sementara kelopak mataku basah penuh dengan genangan air mata berlinang membasahi pipiku, seiring hasrat bertemu orangtuaku yang tak sanggup lagi kutahan.
Di depan rumah kulihat mereka sedang duduk di atas dipan bambu, aku berlari menghambur kearah mereka, bersujud di kaki mereka sambil menangis. Aku bisa merasakan keterkejutan mereka saat melihatku kembali, rasa terkejut yang bercampur bahagia, mengetahui anak perempuannya yang hilang entah kemana, kini tiba-tiba muncul di hadapan mereka.
Kurasakan tangan Bapak Ibuku yang kurus dan keriput membelai mesra kepalaku, dengan terisak-isak akupun berkata, “Bapak Ibu maafkan anakmu yang berdosa ini, anakmu yang hilang kini telah kembali. Aku akan mengikuti segala yang menjadi kemauan kalian. Aku mau, aku setuju, yang penting kalian senang dan bahagia, maka aku akan menuruti keinginan kalian, dan tak akan menolak dinikahkan dengan anak dari Imam Masjid desa kita.”[hw19112014]
Tabe, salama'ki'
Keep Happy Blogging Always, mari ki' di' :-)
Category
:
Cerita Pendek
,
Fiksi
,
humaniora
saya habis baca bapak, tapi saya tak paham ini kutipan novel, kisah beneran, atau cerpen, atau...
tapi bahasanya bagus, saya suka sekali
Mantap mas....
This comment has been removed by the author.
huhu... ending yang mengharukan
koreksi dikit boleh yaa... 1. muda --- bukan mudah (kata sifat)
2. Coba pangkas kalimat-kalimat tidak efektif
3. Ada bebrapa paragraf yang agak terengah-engah membacanya (mungkin bisa dijadikan dua kalimat)
nice story mas Hariyanto ^^
fiksi yg bagus banget Mas Hari, mengharu biru kisahnya
Sampai hafal banget sy sama tulisan bang Hari
khas banget soale
moga sukses GA nya bang
Orangtua selalu menerima anaknya kembali.. :)
Salam siang Mas Hari, maaf nih baru bisa berkunjung lagi agak lama juga ya Mas. gak saling sapa. Saya baca dulu Post Running Girl nya salam sukses selalu :)
pasrah sekali si anak ini mas, hmm..klau saya pasti berfikir ulang klau dnikahkan dengan seseorang yang saya ga kenal (pengalaman hihi)
Turut mendoakan saja saya Mas Hari. semoga GA Sukses dan bisa menghasilkan penghasilan yang melimpah Amin. salam ceria selalu Mas Hari :)
Ini fiksi ya mas? fiksi yg bagus... :)
izin menyimak dan membaca mas hehehe
Tempat kembali yang nyaman kedua adalah Orangtua.. Restu terbaik adalah restu orang tua T.T
Kunjungan lagi daeng...
Ceritanya manttap deh....
seorang gadis berlari ada beberapa kemungkinan hal tersebut bisa gadis itu berlari, salah satunya karena abangnya bau...makanya gadis itu Running...bisa ajah kan bang?
Adakalanya anak tidak tahu bahwa apa yang diberikan ortu adalah yang terbaik baginya.
Senang dgn endingnya.
Sukses GA-nya mas.
di postingan sebelumnya kotak komen nya gak ada.. jadi komen disini aja.
saya malam-malam lari kang... hehe di blog kang heri...
kisah fiksi yang memberikan inspiratif dan memberikan pemahaman bagi pembacanya,, kemana pun kita melangkah, tetap kita akan kembali ke tempat dimana kita bisa menemukan jati diri kita bersama orang-orang yang menyayangi kita..
bagus juga mas....kalau boleh memberi masukan, bagian akhir tingkat dramatik kurang tergambar dan alur untuk menuju penyelesaian masalah lebih dipertajam. bukan hanya dibuat ketemu dan selesai begitu saja, tarik lagi alur baru dan buat sedramatik mungkin. bisa saja bapaknya atau ibunya telah tiada, yang tinggal cuma penyesalan, sehhingga ia datang kekubur ortunya lalu berjanji di sana. mungkin lebih baik juga kalau ada anak kecil sebagai adik untuk penguat suasana dan jalinan konflik batin akan tanggung jawab si gadis. maaf ya mas ini hanya masukan. salam sahabat blogger.
Mengharukan ceritanya. Semoga kepatuhan si anak berbuah pernikahan yang bahagia. Saya tahu beberapa kisah nyata yang seperti ini.
Artikel yang Bang Har komentar terpaksa harus dihapus karena muncul juga di sini :
http://1sthappyfamily.playsmallgame.com/2014/11/how-to-handle-whiteheads-on-your-teen.html
SR support yang beritahu saya. Domain blog palsu ini sudah saya laporkan ke Google DMCA dengan tuntutan peniruan identitas. Apa lagi yang bisa saya lakukan ya Bang, saya benar2 dirugikan nih. Trims sebelumnya.
saya juga bakalan mau kalo dinikahkan sama puterinya pak imam masjid Mas, hehe
setelah dalam masa pelarian, memang biasanya akan timbul kesadaran dan perasaan bersalah dan membayangkan jasa orang tua. lalu pun akhirnya kembali pulang untuk mendarmabaktikan hidupnya untuk orang tua. menyentuh sekali Mas
luar biasa pak cerita nya sangat mengharukan, sukses pak untuk GA nya ya ;)
ternyata mas Hariyanto juga jago mengarang, bagus lagi ceritanya
menyentuh dan banyak tauladannya
fiktif kang? atau terinspirasi dari kisah nyata?
masih belom cape lari gadis nya bang..:D
gadis yang berlari tanpa mengenal lelah patut untuk diapresiasi ya pak, salut ;)
malahan aku baca ada pelajaran dari kebijakan orang tua tuk pandai bersyukur..
ini fiksi :D
jadi trenyuk, ingat orang tua dikampung. ingin membahagiakan tapi kemampuan terbatas. ada rasa amarah pada diri sendiri, lemah ekonomi.